Dugaan Kekerasan Anak di SMP N 1 Siborongborong Taput, Kepsek Klaim Jalankan Prosedur dan Peraturan

Sebarkan:

Foto: Kepala Sekolah SMPN 1 Siborongborong, Taput, bersama sejumlah guru saat memberikan keterangan kepada media. (topjurnalnews.com/bisnur sitompul)
TOPJURNALNEWS.COM - Menyikapi dugaan kekerasan yang dialami seorang anak, sebut saja namanya "Bunga (13)", pelajar kelas IX di SMP Negeri 1 Siborongborong, Tapanuli Utara, pihak sekolah terdiri dari kepala sekolah bersama guru Bimbingan dan Konseling (BK), wali kelas dan guru kesiswaan menjelaskan, pihaknya sudah menjalankan prosedur dan peraturan sesuai yang berlaku di sekolah.

Menurut informasi diterima media, Bunga diduga mengalami kekerasan berupa kata-kata atau ucapan untuk menyakiti, merendahkan, mengintimidasi, dengan mempermalukan atau menimbulkan rasa tidak berharga. Bunga diduga dihina, dimaki, diejek, yang dampak psikologisnya bisa sangat serius bagi dirinya.

Kejadian itu dilakukan oleh sejumlah guru di sekolah tersebut sejak bulan Juli 2025, sehingga mengakibatkan Bunga berhenti sekolah pada 1 Agustus 2025 karena trauma dan ketakutan.

Bahkan, Bunga mengalami trauma berlapis, membuat dirinya merasa malu karena juga sebagai korban kekerasan seksual yang dialaminya pada bulan Desembar 2024 Pelaku sendiri telah dihukum 1,5 tahun penjara.

Kepala sekolah SMPN 1 Siborongborong, Marturak Lumbantoruan, mengatakan sekolah telah berupaya menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan mendukung pemulihan anak pasca peristiwa traumatis.

“Kami menerima Bunga dengan tulus dan telah membuat perjanjian bersama walinya untuk mendukung proses reintegrasi. Kami juga membuka ruang komunikasi dengan keluarga dan pihak eksternal demi memastikan kelanjutan pendidikan anak,” ujar Marturak kepada media, Kamis (4/9/2025) di SMPN 1 Siborongborong.

Marturak bersama para guru menjelaskan, pihak sekolah mengambil tindakan administratif karena Bunga tidak masuk sekolah dalam waktu lama tanpa keterangan yang jelas. Tindakan tersebut dilakukan setelah menempuh prosedur sesuai regulasi dan berdasarkan surat perjanjian yang sebelumnya telah disepakati bersama orang tua atau wali siswa.

Dasar pengambilan keputusan sekolah yaitu, tingkat absensi Bunga yang tinggi, serta tidak ada jawaban dari pihak keluarga terhadap panggilan sekolah kepada yang bersangkutan.

Sekolah telah melayangkan surat panggilan sebanyak tiga kali secara bertahap kepada orang tua atau wali dari Bunga. Panggilan pertama dikirim pada 30 Juli 2025, disusul panggilan kedua pada 1 Agustus 2025, serta panggilan ketiga pada 11 Agustus 2025.

Namun, pihak sekolah mengklaim tidak ada satu pun dari panggilan tersebut yang direspon oleh orang tua atau wali dari Bunga.

"Kami sudah menjalankan semua prosedur. Panggilan pertama, kedua, dan ketiga telah kami kirimkan, lengkap dengan ekspedisinya, namun orang tuanya tidak pernah datang," ungkap seorang guru.

Para guru menyatakan, informasi yang mereka terima mengenai alasan ketidakhadiran Bunga, berbeda dengan yang dilaporkan pihak keluarga ke media. Berdasarkan komunikasi langsung dengan nenek (oppung) Bunga yang merupakan walinya, guru BK mendapat keterangan bahwa Bunga tidak sekolah karena malas dan tidak ada niat sekolah lagi. Keterangan ini didapat saat guru melakukan kunjungan langsung ke rumahnya pada panggilan kedua.

"Hal ini bertolak belakang dengan informasi yang menyebutkan, Bunga tidak sekolah karena trauma akibat perlakuan guru," imbuh guru BK.

Para guru justru merasa bingung dengan klaim trauma tersebut. Karena mereka melihat aktifitas Bunga di media sosial dan kesaksian beberapa guru melihat dia di luar rumah, seperti di pasar.

Langkah administratif yang diambil sekolah berdasarkan pada surat perjanjian resmi yang telah ditandatangani di atas meterai oleh oppung Bunga. Dalam perjanjian tersebut, disepakati bahwa Bunga tidak boleh absen tanpa pemberitahuan dari wali yang sah. Pelanggaran terhadap perjanjian ini yang menjadi dasar bagi sekolah untuk bertindak.

"Masalah yang mencuat sekarang ini bukan soal kasus kekerasan seksual yang dialami Bunga pada 2024, tetapi ini murni karena ketidakhadirannya yang melanggar perjanjian," tegas seorang guru.

Puncak dari upaya sekolah adalah melakukan kunjungan rumah (home visit) pada 27 Agustus 2025. Dalam kunjungan tersebut, pihak keluarga disebut meminta tenggat waktu dua minggu untuk mencari sekolah baru untuk Bunga, di mana ia bisa merasa lebih nyaman.

Marturak Lumbantoruan menambahkan, langkah ini diambil untuk menjaga konsistensi penerapan peraturan sekolah kepada seluruh siswa. 

"Kami harus konsisten. Jika ada kasus seperti ini dan tidak ditindaklanjuti, kami khawatir akan tertular ke siswa yang lain, nanti dianggap peraturan di sekolah ini longgar," jelasnya.

Ia menegaskan, sekolah tidak mengeluarkan Bunga, melainkan memberikan rekomendasi pindah dan siap memberikan surat pindah untuk melanjutkan pendidikannya di tempat lain. Langkah ini dianggap sebagai solusi terakhir setelah berbagai upaya mediasi tidak mendapat respon yang diharapkan dari keluarga. (bisnur sitompul)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini