TOPJURNALNEWS.COM - Orang tua korban kekerasan anak di SMP Negeri 1 Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Leonardo Siregar, meminta kepada Bupati Tapanuli Utara melakukan perlindungan dan penanganan mendesak atas kekerasan dan stigmatisasi terhadap anak perempuannya.Foto: Orang tua korban kekerasan anak di SMPN 1 Siborongborong, Taput, Leonardo Siregar. (topjurnalnews.com/bisnur sitompul)
Dalam surat yang dikirimkan oleh Leonardo Siregar pada tanggal 10 September 2025 kepada Bupati Taput, ia menyampaikan keprihatinan yang mendalam karena tindakan kekerasan dan stigmatisasi yang dialami anaknya, sebut saja Bunga (13), pelajar kelas IX di SMPN 1 Siborongborong, oleh dua orang guru di sekolah tersebut.
"Akibat perlakuan guru, anak saya mengalami trauma berat, ketakutan dan tidak berani kembali sekolah," ujar Leonardo Siregar kepada wartawan, Kamis (11/9/2025).
Leonardo menjelaskan, anaknya adalah korban kekerasan seksual pada bulan Desember 2024 dan pelaku sendiri telah di vonis 1,5 tahun penjara. Namun sejak kembali bersekolah, ia mengalami perlakuan yang memperparah traumanya.
Pada tanggal 18 Juli 2025 dihina oleh guru didepan umum menggunakan mikrofon dengan ucapan merendahkan, seperti "enggak tahu diri" dan "harusnya tahu dirilah".
Anaknya dituduh menjual diri secara verbal oleh guru bimbingan dan konseling, saat membahas kegiatan drum band pada tanggal 25 Juli 2025.
Dipermalukan dan diancam dikeluarkan dari sekolah, serta dipaksa memungut sampah yang kemudian ditendang pada tanggal 29 Juli 2025.
Anaknya ditampar di kantor sekolah, dituduh berbohong dan disuruh pulang dengan menjatuhkan tasnya pada tanggal 1 Agustus 2025.
Leonardo menolak klaim sekolah yang menyebut anaknya malas sekolah dan telah diberi kelonggaran dari pihak SMPN 1 Siborongborong. Ia justru mempertanyakan kondisi psikologis anaknya karena keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah tersebut tidak berfungsi. Bahkan membiarkan kekerasan dilakukan oleh pendidik.
"Saya mohon agar dilakukan investigasi independen dan transparan dugaan kekerasan oleh kedua orang guru terhadap anak saya, serta sanksi sesuai hukum yang berlaku. Perlindungan psikologis dan fisik bagi anak saya, serta pendampingan trauma," imbuh Leonardo.
Menyikapi dugaan kekerasan terhadap anak di SMPN 1 Siborongborong, Konsultan Strategis Perlindungan Anak, Fendiv J Lumbantobing SPd, menekankan Negara harus hadir menjamin perlindungan anak.
Menurutnya, kasus ini harus dilihat bukan sekadar persoalan individu, melainkan sebagai alarm sistemik atas kegagalan sekolah dalam melindungi peserta didik.
“Korban kehilangan rasa aman dan hak dasarnya atas pendidikan. Negara tidak boleh tinggal diam. Ini bukan hanya tentang satu anak, tetapi tentang jaminan setiap anak di Indonesia untuk belajar di lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan,” tegas Fendiv.
Ia merekomendasikan agar dilakukan perlindungan dan pemulihan anak korban. Segera diberikan konseling intensif melalui UPTD PPA untuk pemulihan trauma.
Memfasilitasi perpindahan sekolah ke lingkungan yang aman tanpa hambatan administratif. Jika sekolah negeri penuh, Dinas Sosial wajib memastikan dukungan biaya untuk sekolah swasta yang ramah anak.
Serta melindungi identitas dan kerahasiaan korban sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak.
Fendiv juga menekankan agar dilakukan perbaikan sistem di SMPN 1 Siborongborong. Menerapkan sanksi tegas bagi oknum guru yang terbukti melakukan kekerasan, baik secara hukum maupun administratif.
Melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja TPPK di sekolah dan pelatihan berbasis trauma bagi seluruh guru agar memahami dampak kekerasan pada anak.
“Sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan ramah bagi anak-anak. Bukan tempat di mana mereka dipermalukan atau disakiti,” pungkas Fendiv.
Ia mendesak, Negara melalui KPAI, Dinas P2KBP3A, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial, harus bergerak cepat memastikan
pemulihan korban dan jaminan pendidikannya. Akuntabilitas sekolah dan oknum guru pelaku, serta pencegahan agar kasus serupa tidak terulang. (bisnur sitompul)