TOPJURNALNEWS.COM - Salah satu seni yang terukir dalam sebuah peradaban yang dimiliki sebuah suku ataupun etnis di Nusantara, bukan hanya soal tentang pakaian adat, rumah adat maupun ragam seni lainnya, Masjid ataupun tempat ibadah bisa dikatakan seni ataupun peninggalan sebuah etnis maupun suku, yang tidak bisa dilupakan dan harus dilestarikan bagi generasi muda.
Masjid Raya Al-Osmani atau yang biasa disebut oleh masyarakat Medan Utara sebagai Masjid kuning merupakan Masjid yang dibangun pada tahun 1854 oleh Kesultanan Deli yang ketujuh, yaitu Sultan Osman Perkasa Alam yang dianggap menjadi salah satu Masjid tertua di Kota Medan.
Lokasinya saat ini berada di Jl. K.L Yos Sudarso, Km. 19,5, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, atau berjarak sekitar 16 km dari pusat Kota Medan.
Masjid Raya diberi nama Al-Osmani karena dilatar belakangi oleh nama pendirinya yaitu Sultan Osman Perkasa Alam.
Saat pertama kali dibangun pada 1854, masjid ini berukuran 16x16 meter dan masih terbuat dari bermaterial kayu.
Tujuan Sultan Oman Perkasa Alam membangun masjid saat itu adalah untuk merajut hubungan silaturahim antara rakyat dengan Kesultanan Deli.
Sultan juga menginginkan pembentukan mental masyarakat melayu harus bersumber dari rumah ibadah, sehingga rumah ibadah itu dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sumber merajut ukuwah islamiyah.
Setelah Sultan Osman wafat, maka kepemimpinan Kesultanan Deli digantikan oleh anak kandung beliau yaitu Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alamsyah atau Sultan Kedelapan.
Dimasa kepemimpinan Sultan Mahmud sekitar tahun 1870 Masjid Raya Al Osmani pun direnovasi sedemikian rupa, yang tadinya terbuat dari kayu, menjadi bangunan permanen seperti sekarang. Selain itu, ukuran masjid pun diperluas menjadi 26x26 meter.
“Hal ini terjadi karena populasi masyarakat melayu dimasa Sultan Mahmud sudah semakin berkembang, sehingga dianggap perlu memperluas ukuran masjid agar semakin banyak masyarakat melayu yang bisa beribadah disitu dan melaksanakan kegiatan lainnya,” ucap Ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Raya Al-Osmani, H. Ahmad Fachruni.
Ia mengatakan bangunan masjid ini pun memiliki ciri khas dan nilai arsitektur yang kental dengan kebudayaan eropa, timur tengah, india, cina, kemudian melayu deli.
“Khas eropanya adalah bangunan yang berbentuk minimalis, timur tengahnya, kalau kita perhatikan sisi luar bangunannya, setiap tiang ada diatasnya seperti bulatan ladam kuda, itu persis seperti masjid-masjid di timur tengah, makkah dan madinah.
Kemudian india nya kita bisa melihat ruangan utama masjid ini persis seperti bangunan Taj Mahal di india, ada lengkungan besar dibawah menguncup diatas, dari segi cina nya bisa dilihat dari pintunya, dan terakhir melayu delinya yaitu warna kuning yang dipadu dengan hijau keislaman,” ucapnya.
Renovasi ini dilatar belakangi oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam atau Sultan Kedelapan yang saat itu menginginkan masjid ini direnovasi dengan bentuk yang unsurnya bervariasi, agar masjid ini tidak terlihat kuno saat itu, dan dipadukan dengan unsur-unsur etnis.
Sultan pun memanggil arsitektur dari eropa tepatnya negara jerman G.D Langgereis saat merenovasinya dan mempercayai pekerjaan hingga perbaikan seluruh masjid selesai.
Arsitek ini pun diperintah oleh Sultan untuk mentelaah dan mencari referensi masjid-masjid dengan berbagai aneka arsitektur.
“Alhamdulillah walaupun direnovasi pada tahun 1870 namun seninya sangat memukau sampai sekarang” ucapnya.
Saat renovasi tersebut, dikatakan oleh Fachruni perekat bangunannya tidak menggunakan semen melainkan menggunakan kapur dan putih telur.
Kemudian, saat belum adanya transportasi udara saat itu, sebelum jamaah haji diberangkatkan melalui pelabuhan belawan, masjid ini menjadi tempat pemberangkatan dan pelepasan jamaah haji saat itu, bisa dikatakan dahulunya masjid sebagai asrama haji.
“Fungsinya pada saat itu berperan sekali, yakni mendoakan calon jamaah haji untuk berangkat ke tanah suci, dan ternyata cara seperti itu alhamdulillah pulak sampai sekarang tetap dilakukan oleh beberapa Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang ada disekitar Kecamatan Medan Labuhan.
Ketua Majalis Ulama Indonesia Medan Labuhan ini menambahkan Sebelum diberangkatkan ke asrama haji yang di Kota Medan, disinilah titik kumpul mereka, sekaligus bercengkerama dengan keluarga, bisa dikatakan sekaligus menjaga tradisi tadi, usai berdoa disini barulah mereka pun berangkat menuju asrama haji,” ujarnya.
Kerajaan Deli dulunya terletak disekitar Masjid Raya Al-Osmani, istananya pun tepat tepat berada di depan masjd ini, sampai pada masa Kesultanan yang kedelapan.
Sedangkan masa Kesultanan yang kesembilan barulah Istana Maimun dibangun dan sultan menetap disana sekitar 1901 hingga generasinya yang sekarang.
Dan perlu diketahui Masjid Raya Al-Osmani sudah mengalami tujuh kali renovasi sejak pertama berdiri.
Diantaranya dilakukan pada zaman Sultan Osman, Sultan Mahmud, Perusahaan Tembakau Deli, Gubernur Sumut Marah Halim Harahap, Presiden Soeharto, Walikota Medan Bachtiar Ja’far dan terakhir di tahun 2009 oleh Walikota Medan H. Abdillah.
Masjid ini belum pernah mengalami kerusakan total akibat gejala alam, walaupun pernah terjadi gempa yang cukup dahsyat tahun 2004, masjid ini hanya mengalami sedikit keretakan. “Namun sudah dipoles, sehingga kembali baik,” imbuhnya.
Beberapa renovasi yang pernah dilakukan hanyalah karena gejala alam seperti kelapukan dan cat yang pudar.
Beberapa bagian masjid yang masih asli diantaranya adalah mimbar khotib itu dipertahankan sejak 1870, cekungan tempat imam (mihrab), bentuk lingkukan langit-langit masjid walaupun papannya sudah dirubah namun bentuknya masih dipertahankan.
Beberapa kaca jendela dan kaca diatas pintu dipertahankan sejak 1870, walaupun ada beberapa yang sudah diganti sekitar tahun 1999, pintu sejak 1870.
Bentuk kubah yang persegi delapan tetap dipertahankan walaupun bagian luarnya sudah direnovasi.
“Dulunya kubah ini terbuat dari tembaga dan kuningan sekarang sudah tidak itu lagi, karena mendapatkan tembaga dan kuningan cukup sulit,” ucapnya.
Di halaman belakang masjid terdapat dua bangunan, satu diantaranya merupakan sumbangan dari Walikota Medan Bachtiar Ja’far pada tahun 1999.
“Beliau ingin memberikan buah tangan berupa sebuah maket rumah adat melayu, agar anak-cucu yang bersuku melayu dimasa depan tidak buta tentang rumah adat melayu,” ucapnya.
Awalnya bangunan ini difungsikan sebagai perpustakaan, lambat laun perpustakaan ini pun tidak berfungsi, dan referensi bukunya mulai berkurang hingga akhirnya bangunan itu dialih fungsikan sebagai tempat penyimpanan inventaris masjid, seperti sajadah dan karpet.
Tepat disebelah bangunan tersebut ada pula sebuah bangunan yang dulunya digunakan sebagai kantor Badan Kemakmuran Masjid (BKM), namun saat ini bangunan itu digunakan sebagai kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Medan Labuhan.
Tepat didepan, disamping kiri dan kanan masjid juga terdapat pemakaman yang terdiri dari dua golongan.
Golongan pertama adalah keturunan kesultanan, sedangkan golongan kedua merupakan masyarakat biasa.
Untuk golongan kesultanan ditempatkan pada halaman depan, ada juga yang ditempatkan pada bagian kiri dan kanan masjid namun tetap diletakkan dibagian depan.
Sedangkan golongan masyarakat terletak disebelah masjid, meskipun ada beberapa golongan kesultanan yang dimakamkan disitu.
“Masyarakat untuk dapat dimakamkan di sekitaran masjid kita ini tentu masyarakat yang mendapat izin dari Kesultanan Deli, tidaklah serta merta masyarakat bebas masuk tanpa ada persetujuan,” imbuhnya.
Diceritakan pula mengapa Kesultanan Deli mendirikan istananya di sekitar Masjid Raya Al-Osmani Kecamatan Medan Labuhan hingga berpindah ke Istana Maimun di Kecamatan Medan Maimun.
Awalnya Kesultanan Deli memperhatikan prospek ekonomi yang bagus disekitaran Kecamatan Medan Labuhan karena dekat pelabuhan dan mata pencarian utama yang saat itu nelayan yang banyak bersumber dari hasil laut.
Saat masuknya Belanda ke daerah ini, Belanda melihat prospek ekonomi yang lebih menguntungkan sehingga mereka menyampaikan masukkan kepada kesultanan agar membuka perkebunan tembakau.
Setelah mempertimbangkan prospek itu Kesultanan pun tertarik hingga akhirnya pindah ke kawasan Kecamatan Maimun saat ini sambil membina perkebunan tembakau ini.
Ternyata alhamdulillah, tembakau pun terkenal hingga ke mancanegara. Itulah beberapa faktor sehingga terjadinya perpindahan istana,” ucap Fachruni.
Masjid Raya Al-Osmani juga memiliki beberapa tradisi yang khas saat Ramadan, satu diantaranya adalah saat hari Senin dan hari kamis selalu diadakan buka puasa bersama masyarakat umum dengan hidangan yang khas dan sudah turun-temurun, yakni bubur pedas khas melayu deli.
“Ini sudah menjadi menu tahunan dan bahkan pernah dilakukan oleh orang-orang tua kita terdahulu, InsyaAllah sampai hari ini masih kita pertahankan,” ucapnya.
Bubur pedas diadakan setiap dua kali seminggu, selebihnya dari itu dihidangkan makanan biasa misalnya takzil berupa kue-kue maupun makanan ringan lainnya.
Untuk kegiatan di Masjid Raya Al Osmani selama bukan ramadhan pihak BKM telah membuat pengajian rutin harian yang dilakukan setiap hari setelah shalat ashar, maupun kuliah subuh yang kita laksanakan tiga kali dalam satu minggu yang diisi oleh beberapa penceramah diantaranya Ustad Ismail Harun, Ustad Ramdan Amir dan juga Ustad Muhammad Amin.
"Semua kita lakukan demi meningkatkan iman dan taqwa selama bulan suci Ramadan" ucapnya.
Untuk pelaksanaan salat tarawih berjamaah Masjid Raya Al Osmani tetap melaksanakan salat tarawih 23 rakaat beserta witir.
Ia berharap kepada pihak pemerintah khususnya Wali Kota Medan agar lebih peduli dengan Masjid Raya Osmani, meskipun berbagai fasilitas sudah mumpuni disini, seperti jaringan listrik, AC, Tempat Wudhu maupun Wifi yang diletakkan di beberapa titik disekitar Masjid.
"Yang kurang hanya pengecatan dinding, yang dilihat sudah ada beberapa yang kusam, dibagian dalam masjid,"pungkasnya.